Logika Sesat Pikir; Mancing dan Masak




Saturday, January 21, 2012

Beberapa tahun silam, ketika aku dan kawan-kawan tengah asyik dan akrab-akrabnya. Maklum masih eforia mendapat Sekolah baru dengan status Maha. Bertemu kawan-kawan dari berbagai spesies, jenis, dan ordo masing-masing. Berbeda bahasa pun menjadi guyonan yang semakin menjadi asyik karena tawa riuh yang keluar dari bibir adalah tawa kebingungan.

Hari itu, langit begitu cerah, sinar mentari memancarkan cahaya dari balik awan yang menyengat kulit. Di sekolah itu, ada sebuah pelajaran yang menyesakkan, Logika. Bukan karena sulit, bukan pula karena kami bodoh, tapi karena Gurunya yang dengan suara lirih dan muter-muter ketika menjelaskan membuat semua susah memahami, dan malas. Uniknya, di setiap pelajaran, tak jarang lebih dari separuh kelas akan mengulang di semester berikutnya.

Di depan kelas, aku merasa malas memasuki kelas. Begitu juga beberapa kawan. Tanpa tahu siapa yang memulai, tiba-tiba aku dan beberapa kawan, memutuskan untuk meninggalkan pelajaran dan mencari tempat yang sejuk dan asyik untuk bermain. Akhirnya, memutuskan untuk pergi memancing dan memasak. Segera tancap gas dan meluncur.

***

Hari semakin panas siang itu, tetapi terobati dengan sejuknya hawa pedesaan di ujung Utara jauh dari pusat kota, di rumah Rista. Bermalas-malas sebentar, sembari menunggu langit sedikit mendung. Duduk, bicara sembari mengamati laju ikan-ikan yang sebentar lagi akan meninggal dunia. Mereka berada di dalam kolam kecil di halaman rumah semakin memancing untuk kami segera bergerak ke arahnya.

Tak berapa lama, kami pun bergerak untuk mencari Cacing yang nantinya akan dijadikan sebagai umpan pada saat memancing ikan di sebuah kolam, yang berada di halaman. Ternyata tidak semua suka dengan binatang kecil dan menggeliat di tanah itu. hanya beberapa orang saja yang siap menggali tanah, mengumpulkan, dan mengambilnya untuk dijadikan umpan.

Di belakang rumah, sebuah selokan kecil yang selalu tergenang air, menjadi istana para Cacing, sehingga kami tidak begitu kesulitan menemukannya. Dalam waktu singkat, para Cacing sudah terkumpul seperti mi instan yang siap santap. Menggeliat dan bergerak perlahan dalam sekumpulan di dalam tas kresek warna hitam membuat perut semakin lapar.

Tak jarang suara tawa mewarnai dalam setiap pencarian Cacing. Karena memang hobi kami tertawa. Sabetan Celurit berkarat dan sedikit tumpul, yang seharusnya dipakai untuk mencari Cacing pun disabetkan hampir mengenai leherku. Bukan sabetan dengan penuh hawa membunuh, melainkan sabetan kasih sayang dan caandaan seorang Joshua, yang akrab di sapa Opung, karena ia seorang dari Batak. Seorang berbadan tegap dan kekar, namun hatinya lembut dan selalu mengeluarkan candaan-candaan yang mebuat semua orang tertawa lepas. Tak hanya pandai mencari Cacing, tp si Opung juga menjadi juru masak kami, karena masakanya begitu memikat lidah, hingga membuat ketagihan dan merasa kangen dengan masakan-masakannya.

***

Penyiksaan pertama dilakukan. Tubuh Cacing, ditusuk dengan mata kail yang melengkung menembus tubuhnya yang berlendir. “Maaf Cacing, nasibmu memang begitu malang,” batinku. Penyiksaan kedua, ketiga, dan seterusnya, membuat pemandangan yang cukup indah. Para Cacing bergelantungan di ujung mata kail, dan melihat para Ikan seolah siap untuk memangsanya dan menelannya.

Satu per satu kail dilemparkan ke kolam itu. Menunggu sejenak, kambangan mulai bergetar perlahan, menandakan Cacing mendekati ajal di ujung bibir ikan yang juga segera menyusul ajal si Cacing. Sesekali guyonan dan melakukan kecurangan-kecurangan dengan melempari batu ke kolam untuk menakut-nakuti ikan, membuat semua tertawa dengan jengkel. Apalagi seorang yang sudah siap mendapat ikan.

Tiba-tiba terdengar teriakan yang mengagetkan. Semua mata memandangnya. Semua tertawa namun juga membuat para pemancing gelisah. Ternyata si Nciez, seorang perempuan yang—barangkali seumur hidupnya baru kali ini memegang kail—mendapatkan ikan pertama kali. Tentu saja membuat yang lain jengkel karena merasa lebih jago dan lebih akrab dengan yang namanya kail.


Dengan teriakan girang, Nciez pun melompat-lompat bak anak kecil yang mendapatkan rangking di sekolahan. Namun, ia juga tak dapat menutupi kebingunganya karena tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika mendapatkan ikan. Dengan sedikit bantuan Tuhan, aku pun dapat melepaskan pancing dari bibir ikan yang membuatnya sedikit mengeluarkan darah. “Tenang ikan, sebentar lagi kamu akan kami bunuh, karena kami merasa kasihan jika kamu hidup, pastilah terkena sariawan yang menyakitkan,” pikirku sembari tersenyum.


Tak berapa lama, tawa khas Opung menggelegar. Dengan girang memamerkan ikan yang menyangkut di mata kailnya. Sembari tersenyum, ikan itu takhluk di telapak tanganya yang agak besar menyelimuti tubuh ikan. Belum selesai tawa Opung, aku pun kegirangan mendapat sebuah ikan yang lumayan. Sehingga tak perlu lagi aku memancing untuk santapan siang itu.


Tak hanya itu, ternyata David, seorang pemuda keren—yang tak lain adalah kekasih hati si pemilik rumah, Rista—yang terkadang menyerupai Tengkorak, terlihat tersenyum kecut sembari mengangkat tangan. Begitu sialnya, dia hanya mendapat sebuah ikan kecil, yang mungkin hanya cukup untuk membuat bibir basah dan tidak akan mengenyangkan.


Dengan begitu, tinggal seorang perempuan yang berjilbab, Mega, yang belum mendapat ikan. Dengan sedikit akalnya, dia mengalihkan perhatian kawan-kawan yang asyik mendapat ikan kemudian menacapkan pancing ke bibir ikan yang sudah ada kemudian berteriak seolah baru saja mendapat ikan dari kolam. Terang saja, semua tertawa akibat ulahnya yang lucu itu.


Rista, si pemilik kolam pun tak mau ketinggalan. Dengan menyahut kail kekasihnya, memasang umpan dan menceburkanya ke kolam. Tak berapa lama ia mendapat sebuah ikan. Benar-benar perempuan desa yang cekatan. Tentu saja membuat pikiranku teringat akan kisah Anak Seribu Pulau yang begiu cekatan menangkap ikan, memanjat pohon, berenang, dan lain sebagainya. Mungkin benar kata Marx, bahwa “lingkungan yang membentuk masyarakat”.

***

Setelah satu per satu mendapat ikan dan dirasa cukup untuk disantap siang itu. Opung pun mulai beraksi. Membersihkan sisik ikan, menyembelihnya, mengeluarkan seisi perut, tanpa rasa belas kasih sedikitpun. Naluri membunuh kami meningkat, satu per satu mengambil pisau. Nciez, mendadak memiliki senyum sinis dan naluri membunuhnya meningkat 100 kali lipat. Wajahnya terlihat garang, sehingga ikan itu pun lebih baik bunuh diri daripada dilibas dengan pisau di tangannya.

Sembari kawan-kawan membersihkan ikan, Opung pun beraksi dengan bumbu-bumbu dapur yang beraneka macam jenis. Namun, ia sempat mengeluh, bahwa bumbu yang biasa ia pakai di Batak, tak ada di sini. Ia sedikit ragu, tapi tetap melanjutkan dengan bumbu seadanya.



Setelah aksi penyembelihan ikan dan racikan bumbu siap, sekumpulan arang dengan sedikit balutan api dan kepulan asap menunggu untuk membakar tubuh-tubuh ikan hingga matang. Kami semua membakar para ikan untuk segera di santap.

Tubuh ikan yang terbelah dengan posisi melebar seperti telur di dalam piring merah, membuat hawa lapar menyerobot pikiran kami. Seolah ingin segera melahapnya dan kenyang.



Pada gigitan pertama, serasa melayang di surga. Semua hanyut dalam kenikmatan masakan Opung dan melupakan bahwa pelajaran Logika, menanti kembali pada semester depan.

6 comments:

  1. Iya mbak Hana. cerita di blogmu juga sangat seru...

    ReplyDelete
  2. wah pengalaman yang seru dengan punya banyak teman :D
    nice gan

    ReplyDelete
  3. yak sip... pokoknya asyik hehe

    ReplyDelete
  4. tak pikir bakal mbahas pelajaran logika sesatnya :p
    tapi seruuuuuuuu :p

    ReplyDelete
  5. hehe.. ternyata mbak Tere juga protes. Judul yg tdk sesuai dgn isinya :D

    ReplyDelete

 

Aku

Powered by Blogger.

Jantan Putra Bangsa adalah seorang Pecinta Kampung, Kretek, Jamu, Rempah, Kopi dan Seluruh Kekayaan Alam Nusantara. Meluapkan kecintaannya itu melalui kata-kata, tulisan, dan kesenian. Bisa dihubungi melalui jejaring social Instagram @Jantanpb maupun melalui surat elektronik jantanmail@gmail.com

Copyright © 2015 • Jantan Putra Bangsa