Oleh Jantan Putra Bangsa
Sering kita melihat bangunan permanen. Ia mirip dengan bangku panjang, yang dibuat dari batu-batu yang disemen. Biasanya dibangun di atas saluran air atau yang sering kita sebut selokan. Bangunan itu adalah Bok.
Warga kampung membangun Bok dengan biaya yang diambilkan dari uang kas kampung. Bok berguna untuk menghindari adanya orang yang tercebur di selokan. Karena fungsi Bok dibangun untuk memberi tanda adanya selokan.
Disamping itu ada juga yang menjadikan Bok sebagai tanda batas wilayah, misalnya di kampung Juminahan. Kampung Juminahan dibagi dua wilayah, yaitu Juminahan Barat atau Ledok Juminahan dan Juminahan Timur. “Untuk itu dibangun bok di ujung gang masuk Juminahan barat, selain sebagai tanda adanya saluran air, juga dipakai sebagai tanda batas wilayahm,” kata Harno, warga kampung Juminahan Barat yang saya temui di Sanggar Watu Lunyu.
Seiring perkembangan zaman, di kampung sekitar jalan Sugeng Jeroni, Bok beralih fungsi menjadi sebuah taman, didirikan warung, bahkan dibangun sebuah gardu. Bok yang semula dibangun untuk memberi tanda adanya selokan, menjadi tempat berkumpul warga kampung. Dari anak-anak hingga orang tua.
Sampai aku sendiri merasa heran. Kenapa selalu saja ada orang yang nongkrong di Bok. Apalagi yang di sekitarnya terdapat pohon-pohon rindang yang bisa dijadikan tempat berteduh.
Dari pagi hingga malam terus saja berganti-ganti orang seperti sudah ada jadwal untuk mereka dalam menggunakan Bok. Pagi hari beberapa warga menggunakan Bok untuk ngobrol seusai Sholat Shubuh. Terkadang, seusai olahraga pagi, banyak orang juga menggunakan Bok sebagai tempat istirahat. Setelah hari agak siang, terkadang ada pedagang sayur, buah, dan nasi bungkus yang menggunakan Bok untuk menjual dagangannya. Kalau di siang hari biasanya hanya ada beberapa orang saja yang tidak bekerja atau pengangguran. Ada juga yang istirahat karena kecapaian bekerja. Sore hari, kebanyakan dari mereka adalah ibu-ibu yang tengah menggosip sembari menunggu anak-anaknya bermain di sekitar Bok. Malam harinya, banyak pemuda kampung menggunakan Bok, karena dirasa menjadi tempat yang nyaman untuk minum-minum, ngobrol, dan melihat perempuan yang melintas jalan.
Orang kampung juga tidak sembarangan tempat nongkrong. Mereka lebih memilih Bok yang berada di pinggir jalan besar. Selain ramai, suasananya menyenangkan. Seperti kata Heru, “ha…bosen nek neng njero kampong terus suasanane meng ngono-ngono wae.” (haa.. bosan kalau di dalam kampong, suasananya cuma gitu-gitu aja).
Lain halnya dengan Haki, warga setempat yang tidak suka nongkrong di Bok. Dia lebih senang berada dirumah teman atau di Masjid. Bukannya tidak suka dengan orang-orang tersebut, tetapi lebih dikarenakan merasa kurang nyaman di Bok. Namun, yang menjadi tidak menarik adalah membuat orang lain sungkan untuk melewati Bok yang dipakai untuk nongkrong, sehingga harus melewati jalan lain untuk menghindari melewati Bok.
Sering kita melihat bangunan permanen. Ia mirip dengan bangku panjang, yang dibuat dari batu-batu yang disemen. Biasanya dibangun di atas saluran air atau yang sering kita sebut selokan. Bangunan itu adalah Bok.
Warga kampung membangun Bok dengan biaya yang diambilkan dari uang kas kampung. Bok berguna untuk menghindari adanya orang yang tercebur di selokan. Karena fungsi Bok dibangun untuk memberi tanda adanya selokan.
Disamping itu ada juga yang menjadikan Bok sebagai tanda batas wilayah, misalnya di kampung Juminahan. Kampung Juminahan dibagi dua wilayah, yaitu Juminahan Barat atau Ledok Juminahan dan Juminahan Timur. “Untuk itu dibangun bok di ujung gang masuk Juminahan barat, selain sebagai tanda adanya saluran air, juga dipakai sebagai tanda batas wilayahm,” kata Harno, warga kampung Juminahan Barat yang saya temui di Sanggar Watu Lunyu.
Seiring perkembangan zaman, di kampung sekitar jalan Sugeng Jeroni, Bok beralih fungsi menjadi sebuah taman, didirikan warung, bahkan dibangun sebuah gardu. Bok yang semula dibangun untuk memberi tanda adanya selokan, menjadi tempat berkumpul warga kampung. Dari anak-anak hingga orang tua.
Sampai aku sendiri merasa heran. Kenapa selalu saja ada orang yang nongkrong di Bok. Apalagi yang di sekitarnya terdapat pohon-pohon rindang yang bisa dijadikan tempat berteduh.
Dari pagi hingga malam terus saja berganti-ganti orang seperti sudah ada jadwal untuk mereka dalam menggunakan Bok. Pagi hari beberapa warga menggunakan Bok untuk ngobrol seusai Sholat Shubuh. Terkadang, seusai olahraga pagi, banyak orang juga menggunakan Bok sebagai tempat istirahat. Setelah hari agak siang, terkadang ada pedagang sayur, buah, dan nasi bungkus yang menggunakan Bok untuk menjual dagangannya. Kalau di siang hari biasanya hanya ada beberapa orang saja yang tidak bekerja atau pengangguran. Ada juga yang istirahat karena kecapaian bekerja. Sore hari, kebanyakan dari mereka adalah ibu-ibu yang tengah menggosip sembari menunggu anak-anaknya bermain di sekitar Bok. Malam harinya, banyak pemuda kampung menggunakan Bok, karena dirasa menjadi tempat yang nyaman untuk minum-minum, ngobrol, dan melihat perempuan yang melintas jalan.
Orang kampung juga tidak sembarangan tempat nongkrong. Mereka lebih memilih Bok yang berada di pinggir jalan besar. Selain ramai, suasananya menyenangkan. Seperti kata Heru, “ha…bosen nek neng njero kampong terus suasanane meng ngono-ngono wae.” (haa.. bosan kalau di dalam kampong, suasananya cuma gitu-gitu aja).
Lain halnya dengan Haki, warga setempat yang tidak suka nongkrong di Bok. Dia lebih senang berada dirumah teman atau di Masjid. Bukannya tidak suka dengan orang-orang tersebut, tetapi lebih dikarenakan merasa kurang nyaman di Bok. Namun, yang menjadi tidak menarik adalah membuat orang lain sungkan untuk melewati Bok yang dipakai untuk nongkrong, sehingga harus melewati jalan lain untuk menghindari melewati Bok.
0 comments:
Post a Comment