Ada sebuah air terjun yang sangat menarik perhatianku ketika berada di Sulawesi Selatan, tepatnya di kabupaten Maros, kecamatan Bantimurung. Konon, ditempat ini pula semua spesies Kupu-kupu di dunia hidup dan menghiasi alam Bantimurung. Sehingga di sini juga dikenal sebagai “Kerajaan Kupu-kupu”.
Begitu mendengar cerita seperti itu, aku dan beberapa kawan bergegas menuju Bantimurung. Sepanjang perjalanan, aku hanya membayangkan indahnya air terjun dan ribuan Kupu-kupu terbang mengitari setiap pengunjung yang datang. Hingga tak terasa, kami pun sampai di lokasi dan disambut pintu gerbang berhias kupu-kupu raksasa. Semakin menambah kegairahan untuk segera memasuki wisata alam Bantimurung.
Dengan perlahan melangkah serta mata tersorot tajam mengitari semua lokasi. Berharap dapat menemukan ratusan Kupu-kupu yang terbang dengan indahnya. Tak ada percakapan, semua asyik dengan dunianya masing-masing.
Sedikit aku mulai merasa heran, hingga aku memasuki pintu gerbang di dalam, tak satu pun Kupu-kupu nampak di hadapanku. Hanya daun-daun rimbun dan pohon-pohon membuat alam ini tampak begitu asri, seolah belum terjamah manusia.
Tanpa malu-malu, aku menghampiri seorang penjual cinderamata di sekitar situ, mencoba menanyakan mengenai Kupu-kupu. Dengan penuh harap, aku menunggunya untuk menjawab dan menjelaskan semua kegelisahanku. Sambutan ramah serta senyum kecil, penjual itu menjelaskan bahwa saat ini bukan musimnya, sehingga Kupu-kupu pun enggan untuk menampakkan diri. Barangkali bisa masuk ke museumnya, untuk melihat-lihat jenis Kupu-kupu yang ada di sini. Aku pun mulai sedikit merasa kecewa dengan penjelasan penjual itu. kemudian aku pamit serta mengucapkan terima kasih dan mempercepat langkah menuju museum.
Langit mulai muram, bukan karena mendung tetapi karena memang sudah sore. Aku khawatir tidak dapat melihat air terjun juga jika sudah terlalu sore. Aku pun sampai di depan museum. Tapi aku hanya bisa berdiri di depannya serta menatap dengan penuh rasa kecewa karena museum tutup dan tak ada seorang pun penjaga yang bisa ditanya. Lengkap sudah rasa kecewaku di sini. aku tak mau lagi mengulur waktu, lebih baik aku segera masuk ke dalam dan mandi di air terjun, selesai lalu pulang. Setidaknya itu bisa mengobati rasa kecewa.
Aku melangkah lagi, diikuti beberapa kawan yang raut wajahnya kehilangan serinya. Barangkali merasakan hal yang sama sepertiku, kecewa.
Setelah agak jauh memasuki ke dalam, aku belum melihat air terjun. Namun betapa aku terhenyak ketika aku melihat aliran sungai dengan kejernihannya berkelok-kelok diantara batu cadas berwarna cokelat serta dipayungi rimbunan pohon membuatku merasa sejuk dan segar, seolah merasa terlahir kembali dan melupakan segala penat.
Aku dan kawan-kawan pun harus melewati jembatan batu yang bentuknya unik untuk menyeberang sungai menuju air terjun. Tentu saja mata kami melesat ke segala arah dan menghirup dalam-dalam udara segar ini. Tak banyak percakapan, semua menikmati hidupnya masing-masing sembari melangkah perlahan.
Dari jauh, lamat-lamat terdengah riuhnya suara air. Aku menduga itu air terjun yang masih terlihat kecil dari jauh pandangku. Aku segera mempercepat langkah dan mencari-cari tempat untuk berganti pakaian agar segera bisa menceburkan diri dan bercengkerama dengan air terjun Bantimurung.
Sempat terhenti, dan berdiri sejenak menikmati suara air dan mengikuti aliran air terjun dengan indahnya. Tak lupa pula mengabadikannya dengan kamera sederhana dan dengan hasil yang juga sederhana. Tapi itu sudah cukup bagiku untuk membawanya pulang sebagai kenangan.
Semua sibuk mencari tempat ganti pakaian. Seolah sudah berjanji, tak berapa lama semua kumpul di lokasi yang sama dan mendatangi air terjun beramai-ramai. Berasa menjadi anak kecil, semua melakukan tingkah yang aneh-aneh. Meluapkan rasa senang dan bahagia bisa menikmati air terjun ini.
Tak lama, aku pun merasakan dingin dan badanku sedikit menggigil. Aku menepi sejenak mengamati kawan-kawan yang tengah bermain-main. Aku merasa heran, kenapa hanya ada kami di tempat ini? kok tidak ada pengunjung lain? Hanya ada beberapa orang penjual berseliweran serta beberapa orang duduk secara terpisah di kejauhan. Apa karena ini sudah sore? Atau memang hari ini bukan hari yang menyenangkan untuk ke sini? pikiranku dihantui pertanyaan-pertanyaan. Ah, sudahlah, yang penting aku mau bersenang-senang. Jadi lupakan saja pertanyaan itu, dan membiarkannya lenyap bersama derasnya air terjun.
Di samping air terjun aku mendapati tangga beton yang lumayan tinggi. Aku jadi teringat cerita pejual di depan tadi, bahwa di sini juga ada Goa Batu dan Goa Mimpi. Untuk sampai ke sana, harus melewati tangga beton. Barangkali tangga ini yang dimaksud, batinku.
Tanpa basa basi, aku mengajak beberapa kawan yang mau untuk ikut bersamaku mencari Goa Batu dan Goa Mimpi. Tidak semuanya ikut, karena beberapa masih asyik bermain-main dengan air terjun.
Betapa asyiknya naik satu per satu tangga sembari mengamati air terjun. Hingga kami pun sampai di puncak air terjun. Berhenti sejenak dan mengamati aliran airnya serta melihat pemandangan dari atas. Kemudian, kami melanjutkan perjalanan.
Hanya ada jalan setapak sebagai jalan utama menyusur aliran sungai menuju muaranya. Suasana begitu suram, dan sedikit gelap di dalamnya karena banyak pohon rimbun serta akar-akar pohon yang bergelantungan seperti ular menjalar-jalar ke segala arah. Batu-batu putih di sekitarnya turut menambah suasana menjadi sedikit seram. Cahaya mentari pun tak mampu menembus rimbunya daun-daun yang membuat kami semakin merapatkan diri dan bergerombol.
Sudah berjalan jauh dan agak lama, tak ada satu pun Goa yang kami temui di dalam. Hanya ada beberapa binatang kecil dan suara-suara serangga mengiringi langkah kami di dalam. Tak ada orang lain selain kami. Rasa takut mulai muncul di benak kawan-kawan. Tapi rasa tanggung akan perjalanan jauh ini membuat kami terus melanjutkan perjalanan tanpa tahu arah dan tujuan.
Dari jauh, aku melihat titik terang di ujung jalan setapak ini. Aku merasa ada sebuah keindahan menanti kami di ujung sana. Kami pun bergegas dan berbalapan menuju arah cahaya itu, seolah ingin segera keluar dari kegelapan.
Sesampainya, kami mendapati semacam danau tempat muara air terjun ini berasal. Masih ada bukit-bukit di sekitar situ, barangkali sumber mata airnya masih berada jauh di atas bukit. Tapi aku tak melihat satu jalan pun yang bisa mengantarkan menaiki bukit. Alhasil, bermain di danau dengan hati-hati menjadi pilihan. Kami tak berani bermain ke tengah, karena khawatir tanahnya lendut, bisa menjebak ke dalam dan susah untuk keluar.
Langit benar-benar mulai muram, dan menampakkan tanda-tanda menuju petang. Kami pun memutuskan untuk kembali ke air terjun, khawatir tidak dapat melihat jalan karena semakin gelap.
Pulangnya, jalan kami semakin cepat, sehingga tak banyak percakapan muncul. Tak ada yang bisa dilihat lagi, karena sudah gelap dan jarak pandang juga semakin sempit. Dalam waktu yang tak begitu lama kami sudah mendengar derasnya air terjun. Perasaan lega mulai hadir, semua menghembuskan nafas dalam-dalam seolah merasa lega telah mengakhiri jalan kegelapan.
Air terjun benar-benar telah sepi, tak ada seorang pun yang bermain di sana. Aku melihat beberapa kawanku telah menunggu di seberang sungai dengan pakaian kering. Artinya, tinggal kami saja yang berada di situ. Kami bergegas menuruni tangga dan segera berganti pakaian dan menyusul kawan yang lain untuk segera pulang.
Dengan penuh kepuasan kami meninggalkan air terjun. Memandang sekeliling untuk terakhir kalinya, serta mendengarkan baik-baik suara serangga yang mulai menggantikan suara air terjun yang mulai terdengar lirih. Hening dan sunyi aliran air semakin jauh dari air terjun menghantarkan kepergian kami.
Tiba-tiba langkahku terhenti, melambaikan tangan dan berpamitan pada indahnya alam Bantimurung meski tanpa Kupu-kupu, Goa Mimpi dan Goa Batu.
Begitu mendengar cerita seperti itu, aku dan beberapa kawan bergegas menuju Bantimurung. Sepanjang perjalanan, aku hanya membayangkan indahnya air terjun dan ribuan Kupu-kupu terbang mengitari setiap pengunjung yang datang. Hingga tak terasa, kami pun sampai di lokasi dan disambut pintu gerbang berhias kupu-kupu raksasa. Semakin menambah kegairahan untuk segera memasuki wisata alam Bantimurung.
Dengan perlahan melangkah serta mata tersorot tajam mengitari semua lokasi. Berharap dapat menemukan ratusan Kupu-kupu yang terbang dengan indahnya. Tak ada percakapan, semua asyik dengan dunianya masing-masing.
Sedikit aku mulai merasa heran, hingga aku memasuki pintu gerbang di dalam, tak satu pun Kupu-kupu nampak di hadapanku. Hanya daun-daun rimbun dan pohon-pohon membuat alam ini tampak begitu asri, seolah belum terjamah manusia.
Tanpa malu-malu, aku menghampiri seorang penjual cinderamata di sekitar situ, mencoba menanyakan mengenai Kupu-kupu. Dengan penuh harap, aku menunggunya untuk menjawab dan menjelaskan semua kegelisahanku. Sambutan ramah serta senyum kecil, penjual itu menjelaskan bahwa saat ini bukan musimnya, sehingga Kupu-kupu pun enggan untuk menampakkan diri. Barangkali bisa masuk ke museumnya, untuk melihat-lihat jenis Kupu-kupu yang ada di sini. Aku pun mulai sedikit merasa kecewa dengan penjelasan penjual itu. kemudian aku pamit serta mengucapkan terima kasih dan mempercepat langkah menuju museum.
Langit mulai muram, bukan karena mendung tetapi karena memang sudah sore. Aku khawatir tidak dapat melihat air terjun juga jika sudah terlalu sore. Aku pun sampai di depan museum. Tapi aku hanya bisa berdiri di depannya serta menatap dengan penuh rasa kecewa karena museum tutup dan tak ada seorang pun penjaga yang bisa ditanya. Lengkap sudah rasa kecewaku di sini. aku tak mau lagi mengulur waktu, lebih baik aku segera masuk ke dalam dan mandi di air terjun, selesai lalu pulang. Setidaknya itu bisa mengobati rasa kecewa.
Aku melangkah lagi, diikuti beberapa kawan yang raut wajahnya kehilangan serinya. Barangkali merasakan hal yang sama sepertiku, kecewa.
Setelah agak jauh memasuki ke dalam, aku belum melihat air terjun. Namun betapa aku terhenyak ketika aku melihat aliran sungai dengan kejernihannya berkelok-kelok diantara batu cadas berwarna cokelat serta dipayungi rimbunan pohon membuatku merasa sejuk dan segar, seolah merasa terlahir kembali dan melupakan segala penat.
Aku dan kawan-kawan pun harus melewati jembatan batu yang bentuknya unik untuk menyeberang sungai menuju air terjun. Tentu saja mata kami melesat ke segala arah dan menghirup dalam-dalam udara segar ini. Tak banyak percakapan, semua menikmati hidupnya masing-masing sembari melangkah perlahan.
Dari jauh, lamat-lamat terdengah riuhnya suara air. Aku menduga itu air terjun yang masih terlihat kecil dari jauh pandangku. Aku segera mempercepat langkah dan mencari-cari tempat untuk berganti pakaian agar segera bisa menceburkan diri dan bercengkerama dengan air terjun Bantimurung.
Sempat terhenti, dan berdiri sejenak menikmati suara air dan mengikuti aliran air terjun dengan indahnya. Tak lupa pula mengabadikannya dengan kamera sederhana dan dengan hasil yang juga sederhana. Tapi itu sudah cukup bagiku untuk membawanya pulang sebagai kenangan.
Semua sibuk mencari tempat ganti pakaian. Seolah sudah berjanji, tak berapa lama semua kumpul di lokasi yang sama dan mendatangi air terjun beramai-ramai. Berasa menjadi anak kecil, semua melakukan tingkah yang aneh-aneh. Meluapkan rasa senang dan bahagia bisa menikmati air terjun ini.
Tak lama, aku pun merasakan dingin dan badanku sedikit menggigil. Aku menepi sejenak mengamati kawan-kawan yang tengah bermain-main. Aku merasa heran, kenapa hanya ada kami di tempat ini? kok tidak ada pengunjung lain? Hanya ada beberapa orang penjual berseliweran serta beberapa orang duduk secara terpisah di kejauhan. Apa karena ini sudah sore? Atau memang hari ini bukan hari yang menyenangkan untuk ke sini? pikiranku dihantui pertanyaan-pertanyaan. Ah, sudahlah, yang penting aku mau bersenang-senang. Jadi lupakan saja pertanyaan itu, dan membiarkannya lenyap bersama derasnya air terjun.
Di samping air terjun aku mendapati tangga beton yang lumayan tinggi. Aku jadi teringat cerita pejual di depan tadi, bahwa di sini juga ada Goa Batu dan Goa Mimpi. Untuk sampai ke sana, harus melewati tangga beton. Barangkali tangga ini yang dimaksud, batinku.
Tanpa basa basi, aku mengajak beberapa kawan yang mau untuk ikut bersamaku mencari Goa Batu dan Goa Mimpi. Tidak semuanya ikut, karena beberapa masih asyik bermain-main dengan air terjun.
Betapa asyiknya naik satu per satu tangga sembari mengamati air terjun. Hingga kami pun sampai di puncak air terjun. Berhenti sejenak dan mengamati aliran airnya serta melihat pemandangan dari atas. Kemudian, kami melanjutkan perjalanan.
Hanya ada jalan setapak sebagai jalan utama menyusur aliran sungai menuju muaranya. Suasana begitu suram, dan sedikit gelap di dalamnya karena banyak pohon rimbun serta akar-akar pohon yang bergelantungan seperti ular menjalar-jalar ke segala arah. Batu-batu putih di sekitarnya turut menambah suasana menjadi sedikit seram. Cahaya mentari pun tak mampu menembus rimbunya daun-daun yang membuat kami semakin merapatkan diri dan bergerombol.
Sudah berjalan jauh dan agak lama, tak ada satu pun Goa yang kami temui di dalam. Hanya ada beberapa binatang kecil dan suara-suara serangga mengiringi langkah kami di dalam. Tak ada orang lain selain kami. Rasa takut mulai muncul di benak kawan-kawan. Tapi rasa tanggung akan perjalanan jauh ini membuat kami terus melanjutkan perjalanan tanpa tahu arah dan tujuan.
Dari jauh, aku melihat titik terang di ujung jalan setapak ini. Aku merasa ada sebuah keindahan menanti kami di ujung sana. Kami pun bergegas dan berbalapan menuju arah cahaya itu, seolah ingin segera keluar dari kegelapan.
Sesampainya, kami mendapati semacam danau tempat muara air terjun ini berasal. Masih ada bukit-bukit di sekitar situ, barangkali sumber mata airnya masih berada jauh di atas bukit. Tapi aku tak melihat satu jalan pun yang bisa mengantarkan menaiki bukit. Alhasil, bermain di danau dengan hati-hati menjadi pilihan. Kami tak berani bermain ke tengah, karena khawatir tanahnya lendut, bisa menjebak ke dalam dan susah untuk keluar.
Langit benar-benar mulai muram, dan menampakkan tanda-tanda menuju petang. Kami pun memutuskan untuk kembali ke air terjun, khawatir tidak dapat melihat jalan karena semakin gelap.
Pulangnya, jalan kami semakin cepat, sehingga tak banyak percakapan muncul. Tak ada yang bisa dilihat lagi, karena sudah gelap dan jarak pandang juga semakin sempit. Dalam waktu yang tak begitu lama kami sudah mendengar derasnya air terjun. Perasaan lega mulai hadir, semua menghembuskan nafas dalam-dalam seolah merasa lega telah mengakhiri jalan kegelapan.
Air terjun benar-benar telah sepi, tak ada seorang pun yang bermain di sana. Aku melihat beberapa kawanku telah menunggu di seberang sungai dengan pakaian kering. Artinya, tinggal kami saja yang berada di situ. Kami bergegas menuruni tangga dan segera berganti pakaian dan menyusul kawan yang lain untuk segera pulang.
Dengan penuh kepuasan kami meninggalkan air terjun. Memandang sekeliling untuk terakhir kalinya, serta mendengarkan baik-baik suara serangga yang mulai menggantikan suara air terjun yang mulai terdengar lirih. Hening dan sunyi aliran air semakin jauh dari air terjun menghantarkan kepergian kami.
Tiba-tiba langkahku terhenti, melambaikan tangan dan berpamitan pada indahnya alam Bantimurung meski tanpa Kupu-kupu, Goa Mimpi dan Goa Batu.
Bantimurung, 30 Oktober 2008
ko bagus sihh..tapi jauh bgt di sulawesi >,<
ReplyDeleteiya.. setidaknya bisa jadi referensi kl mau pergi2. :D
ReplyDelete