Laporan Reporter Tribun Jogja, Gaya
Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Melalui Wayang Suket,
Komunitas Wayang Benges
berupaya untuk mengeksplorasi wayang dan dolanan anak. Mereka pun intens
melakukan workshop dan pementasan untuk menggeliatkan lagi wayang di tengah
generasi muda.
Tidak terbesit di
benak Jantan Putra Bangsa beserta teman-temannya untuk membuat komunitas yang spesifik membahas tentang wayang
dan dolanan anak.
Awalnya, pada tahun
2011 mereka hanya suka kumpul-kumpul dan ingin mengarsip dolanan anak. Rupanya,
arsip tersebut sulit ditemukan.
Namun upaya dalam
melakukan pengumpulan arsip mengundang ketertarikan pihak agar komunitas ini memberikan workshop tentang
dolanan anak.
Kemudian dipilihlah Wayang Suket
yang dinilai sebagai satu permainan yang mudah dibuat dan jarang ditemui di
masa sekarang.
Wayang Suket
merupakan wayang yang terbuat dari suket yang artinya rumput. Bentuk dan
karakternya pun dapat disesuaikan dengan kreatifitas pembuatnya.
Banyaknya undangan
workshop, mendorong komunitas ini untuk melegalkan bentuk
organisasinya menjadi lembaga kesenian berbadan hukum pada tahun 2013.
Keputusan untuk
memformalkan komunitas inipun muncul lantaran banyak problem
teknis dari pengundang workshop yang mengharuskan komunitas berbadan hukum.
Memiliki bentuk
yang formal, membuat komunitas yang kini dikenal sebagai Lembaga
Kesenian Wayang Benges
ini justru merapikan organisasinya.
“Kami akhirnya
membuat susunan pengurus yang berisikan enam orang dan berkoordinasi dengan
baik jika ada undangan workshop maupun pementasan,” ujar Jantan sebagai Manajer
Operasional sekaligus penggagas berdirinya Lembaga Kesenian Wayang Benges
ini.
Media wayang
dipilih mereka sebagai media mengenalkan dolanan anak pada generasi muda dan
media nostalgia bagi generasi sebelumnya.
Wayang Suket,
seperti halnya dolanan anak yang lain, tidak diketahui penemunya, namun
karakter bisa diciptakan melalui dolanan tersebut. Wayang inipun
bisa mendorong kreatornya untuk menciptakan wayang serta cerita sesuai
imajinasinya sendiri.
Namun, keberadaan Wayang Suket
ini tidak luput dari kritikan. Kritikan seringkali datang dari kalangan orang
tua yang menilai bahwa Wayang Suket
tidak sesuai pakem dan tidak jelas karakternya.
“Wayang Suket ini
kan termasuk dolanan anak. Wayang itu
kan berkembang, merupakan kesenian yang tidak sekali jadi,” jelas Jantan.
Menurutnya, jika
wayang dipakemkan, maka wayang tidak akan berkembang. Padahal wayang itu
dinamis dan perlu berkembang sesuai jaman. Wayang Golek, Wayang Orang
dan Wayang Klitik
menjadi contoh bahwa kesenian wayang telah berkembang.
“Ada konteks
sejarahnya masing-masing, tidak mungkin produk kebudayaan berhenti karena
budaya sendiri berkembang,” paparnya.
Istilah dinamis
ini, lanjutnya, merujuk bukan untuk menandingi, melainkan ingin mengenalkan
wayang agar familiar dan diterima masyarakat dengan cara yang menyenangkan.
Wayang sebagai
tradisi, dulu memang dikenal sebagai hiburan bagi masyarakat. Namun jika
masyarakat ingin melihat wayang yang sebenarnya, Jantan menyarankan untuk
melihat wayang versi konvensional.
Lembaga Kesenian Wayang Benges
pun masih ingin mewujudkan cita-citanya untuk terus mengeksplorasi wayang dan
dolanan anak.
Pemerhati dolanan
anak ini pun berkeinginan membuat pementasan menggunakan dolanan anak sesuai
porsinya.
Dalam show
tersebut, dolanan anak yang bisa dimainkan akan dimainkan, dolanan yang bisa
mengeluarkan bunyi akan menjadi instrument musik sedangkan dolanan yang
properti bisa jadi properti dalam satu panggung.
“Selain itu, kami
ingin punya sanggar terbuka, dimana setiap orang sudah mahir membuat Wayang Suket
bisa mengajarkan ke orang lain, asalkan jangan mengklaim sebagai penciptanya,”
tutupnya. (*)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment