Foto: Dok. Radar Semarang |
Para
seniman wayang suket tergabung dalam Komunitas Wayang Benges. Mereka tak hanya
mengajarkan cara membuat wayang suket, tapi juga kerap menggelar pentas wayang
suket di sejumlah kota. Seperti apa?
FIRAS
DALIL
KOMUNITAS Wayang
Benges berasal dari Jogja. Mereka datang ke Semarang di acara Rijsttafest yang
digelar di kawasan Kota Lama Semarang. Di event itu, Komunitas Wayang Benges membuka workshop gratis
untuk belajar membuat wayang rumput yang sudah dikeringkan. Wayang ini tak
sekadar sebagai cenderamata, tapi juga bisa dipentaskan.
Novia
Kristiana, pengurus Wayang Benges menjelaskan, komunitas ini berdiri sejak
2011. Kegiatan komunitas ini selain mengadakan workshop cara pembuatan wayang suket, juga menggelar
pementasan. Pentas wayang suket dilakukan hampir mirip pertunjukan wayang
kulit, lengkap dengan musik gamelan, perkusi, dan dalangnya.
”Namun
setiap kali pementasan, Komunitas Wayang Benges selalu memadukan dengan seni
lain, seperti seni kontemporer, story telling, serta seni tari,” katanya kepada Jawa Pos Radar Semarang.
Dikatakan,
wayang suket memiliki bahan dasar rumput. Di antaranya, suket mendong dan suket
kasuran. Untuk suket mendong biasanya dipakai untuk bahan dasar pembuatan
tikar. Suket mendong bukanlah rumput liar yang biasa digunakan untuk pakan
ternak.
Foto: Dok. Radar Semarang |
Suket
mendong itu jenis rumput yang ditanam oleh petani, lalu dikeringkan dan dijual
per kilo. Kalau di Jogja biasa dipakai untuk pembuatan tikar dan seni kriya,
salah satunya wayang suket,” ujarnya.
Bahan
dasar wayang suket ini, lanjut Novia, banyak ditemukan di beberapa pasar
tradisional di Jogja. Salah satunya Pasar Bringharjo yang terletak di ujung
Jalan Malioboro.
Proses
pembuatan wayang suket sendiri dibutuhkan ketelitian yang tinggi untuk
mendapatkan hasil yang bagus, an sama persis bentuknya seperti wayang kulit
pada umumnya. “Awalnya rumput dipotong dulu, ukuran 30-40 sentimeter atau bisa
lebih panjang lagi tergantung ukuran wayang yang kita buat. Lalu suketnya
terlebih dahulu kita basahi biar kuat karena kalau kering suketnya mudah patah,”
jelasnya.
Setelah
itu, rumput mulai dianyam mulai bagian kepala, badan, pantat dan tangan tokoh
wayang yang kita buat. Berikutnya anyaman tersebut diikat. “Dalam pembuatan
wayang suket bisa kita kreasikan bentuknya seperti burung, kupu-kupu atau
bentuk-bentuk lain tergantung kreativitas pembuatnya,” katanya.
Novia
menambahkan, kesulitan dalam pembuatan wayang relatif tidak ada. Pembuatan wayang
berbentuk manusia dengan ukuran setengah lengan, hanya membutuhkan waktu
sekitar 30 menit sampai 1 jam. Bentuk ini terbilang mudah dibuat bagi para
pemula.
Untuk
wayang suket berukuran besar, bentuknya mirip seperti wayang kulit pada
umumnya. Waktu pembuatannya bisa sampai 1 bulan. Bahan yang dipakai juga bukan
suket mendong, melainkan suket kasuran yang warnanya kuning keemasan.
Novia
mengatakan, wayang suket ini tahan lama dan tidak akan dimakan rayap, walaupun
berbahan dasar rumput kering. “Bahan yang kita gunakan semuanya dari suket. Anyamannya
kita buat saling sambung sampai ikatan yang kecil-kecil. Selain itu wayang
suket ini nggak gampang rusak, umurnya bisa kita lihat juga dari warnanya,”
ujar alumnus Filsafat, Universitas Gadjah Mada ini.
Novia
mengaku memiliki ide membuat wayang suket karena menjadi mainannya saat
anak-anak. Semasa kecil, ia mengaku suka membuat benda-benda berbahan dasar dari
alam. Termasuk membuat wayang suket.
Sebenarnya
wayag suket ini dulu kan mainan anak-anak. Waktu kecil saya sudah sering
membuat orang-orangan dari rumput, daun ketela maupun waru. Saya sendiri nggak
tahu pasti mulai main sejak kapan? Seingat saya, sejak masih kecil banget,”
akunya.
Ia mengatakan,
tujuan membuat wayang suket itu untuk melestarikan budaya wayang, sekaligus
melestarikan mainan tradisional anak-anak. “Saya ingin mengenalkan wayang
suket, sekaligus mengajari cara membuatnya dengan bahan yang mudah,” katanya.
Novia
mengakui, wayang suket buatannya bersama teman-temannya dari Komunitas Wayang
Benges sudah sering dilirik beberapa kolektor. Bahkan ada yang pernah ditawar
hingga Rp 2,5 juta sebagai cinderamata. “Harga penawaran bervariasi tergantung
dari ukuran dan tingkat kesulitannya. Mulai ratusan ribu hingga jutaan rupiah,”
ujarnya.
Ia
sendiri masih enggan membuat wayang suket untuk diperjualbelikan. Novia lebih
memilih mengajak masyarakat untuk ikut bergabung dan membuat wayang bersama
Komunitas Wayang Benges. “Memang sudah sering ada yang nawar, tapi memang dari
awal kita nggak berniat untuk membuat wayang untuk diperjualbelikan. Kalau ada
yang nawar ya boleh-bileh aja, tapi sering untuk saya ajak ikut gabung sama
kita belajar membuat wayang suket,” pungkasnya.
0 comments:
Post a Comment